
Masjid Lama Kabanjahe (Foto: Hidayat Sikumbang/DAAI Medan)
Masjid Lama Kabanjahe di Kabupaten Karo, Sumatra Utara, telah berdiri selama ratusan tahun dan menjadi saksi bisu sejarah peradaban Islam tempo dulu di wilayah tersebut.
Masjid Lama Kabanjahe terletak di Jalan Mesjid, Kelurahan Lau Cimba, di tengah pasar di pusat kota Kabanjahe.
Masjid ini dibangun atas rasa gusar para pedagang yang kesulitan untuk menunaikan ibadah salat pada masa itu.
Para pedagang bersuku Melayu, Aceh, Minangkabau, dan Jawa akhirnya bermufakat untuk mendirikan sebuah masjid yang tak jauh dari lokasi mereka berdagang.
Gayung bersambut, mereka pada akhirnya menemui Sibayak Lingga yang merupakan salah seorang penguasa pada masa itu. Ia pun mengizinkan para pedagang yang beragama Islam untuk mendirikan masjid agar mereka dapat beribadah dengan khusyuk.
“Jadi Sibayak Lingga pun setuju agar dicarilah tanah di mana mau dibuat (masjid), dapatlah tanah ini. Di mana kalian rasa cocok, bangunlah masjid itu. Padahal mereka-mereka ini penguasa adat tidak beragama muslim,” ujar salah seorang pengurus masjid Sidik Surbakti kepada DAAI Medan, Jumat (13/10).
Masjid Lama Kabanjahe mulai dibangun pada 1902 dan akhirnya dapat digunakan untuk beribadah pada tahun 1904. Sebagai salah satu masjid tertua, masjid ini menjadi salah satu gerbang masuk agama Islam di kota Kabanjahe dan Tanah Karo.
Masjid Lama Kabanjahe memiliki ornamen dan corak melayu yang khas. Atapnya dibuat seperti Masjid Agung Demak di Jawa Tengah, sedangkan bahan untuk dinding dan lantainya diambil dari kayu-kayu tua dari hutan di sekitar Kabanjahe saat itu. Hal ini, tak lepas dari peran Sultan Langkat yang mewakafkan uangnya sebanyak Rp250.
Sidik Surbakti sendiri telah mengurus masjid ini sejak tahun 1988, meneruskan estafet dari sang ayah yang juga merupakan pengurus inti dari masjid ini.
Meski usianya yang tak muda lagi, Sidik masih giat mengelola masjid ini mulai dari subuh hingga masuk waktu isya.
“Saya mengurus masjid ini secara pribadi sejak tahun 1988 dan sebelumnya itupun memang orang tua saya dulu yang megang mesjid ini. Orang tua dulu meninggal tahun 1969 akhir, kira-kira semenjak itu sampai tahun 1988 sudah ada 8 kali ganti kenaziran masjid ini, baru masuk saya kembali,” tutup Sidik.