Kaligrafi Tiongkok

dr. F. X. Sudanto (Foto: Yayasan Buddha Tzu Chi)

Fransiskus Xaverius Sudanto (83) merupakan dokter yang berjasa bagi masyarakat Papua. Pasalnya, ia hanya menarik tarif Rp2.000 untuk mengobati pasien-pasiennya.

Dokter merupakan salah satu profesi mulia yang bertugas menyelamatkan nyawa orang lain. Banyak pahlawan berjubah putih yang rela mengabdikan hidupnya untuk bisa membantu banyak orang.

Salah satunya, adalah dr. F. X. Sudanto, ia terkenal karena melayani pasiennya dengan memasang tarif rendah, yakni tidak lebih dari Rp2.000.

Tidak hanya itu, dokter kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, tahun 1941 ini juga menerima pasien yang membayar jasanya dengan ucapan terima kasih.

Saat ini, diketahui dr. F. X. Sudanto bertugas di sebuah tempat praktik yang berada di Abepura, Papua.

 

Latar Pendidikan dr. F. X. Sudanto

dr. Sudanto lahir di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah, pada 5 Desember 1941. Ia adalah anak bungsu dari enam bersaudara.

Ayahnya, Umar, merupakan seorang pekerja bangunan di zaman Belanda, sedangkan ibunya, Mursila, merupakan seorang perawat. Ketika perang berhenti, ayahnya kemudian kembali menjadi petani.

“Saya lahir saat zaman perang, zaman penjajahan Belanda. Masa-masa perang menyebabkan pendidikan saya juga sedikit terlambat. Normalnya pada masa sesudah perang, saya mestinya sudah duduk di kelas 6 SD. Tapi pada awal 1950-an saya baru duduk di kelas 1 SD. Demikianlah banyak hambatan karena perang,” ujar dr. Sudanto dikutip dari situs web Lembaga Alkitab Indonesia, Rabu (8/5).

Kehidupan masa kecil yang sulit, membuat dr. Sudanto tidak pernah membayangkan suatu ketika akan menjadi dokter.

Meski kehidupan keluarganya tergolong sederhana, tetapi dr. Sudanto termasuk orang yang cukup cerdas dan gigih. Cita-citanya juga cukup tinggi, yakni ingin menjadi ilmuwan atau pengajar.

Awalnya ia yang menyukai ilmu pasti, berharap melanjutkan bisa kuliah di Fakultas Ilmu Pasti Alam (FIPIA, sekarang FMIPA) Universitas Gajah Mada (UGM).

Namun, ibunya berharap Sudanto menjadi dokter. Akhirnya dr. Sudanto pun menaati anjuran ibunya. Setelahnya, ia mulai menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran UGM.

“Pada mulanya saya menganggap kuliah kedokteran menjemukan. Terlebih kuliah di kedokteran bukan pilihan saya pribadi. Pelan tapi pasti, saya menjadi suka dan senang. Terutama setelah saya masuk tingkat doktotal. Jadi di masa lalu tingkatan kuliah, berbeda dengan masa sekarang, dimulai dari propadus, kemudian lanjut ke kandidat 1, lanjut berikutya kandidat 2. Seusai jenjang kandidat, masuk doktoral 1 dan 2. Setelah itu, kita dapat gelar doktorandus (drs.) medis. Setelah memperoleh gelar drs, kemudian kami diwajibkan bekerja di rumah sakit selama dua tahun. baru setelahnya memperoleh gelar dokter,” jelas dr. Sudanto.

Ia melanjutkan, rata-rata mahasiswa kedokteran di zaman dahulu membutuhkan waktu 10-12 tahun untuk menjadi dokter penuh.

Waktu kuliahnya juga dipenuhi dengan berbagai praktikum dan ujian-ujian praktik yang padat. Sudanto berhasil lulus kuliah pada tahun 1975.

Namun, sayangnya kedua orang tua dr. Sudanto tidak ikut berbahagia dalam kelulusannya, serta tidak sempat mendampingi Sudanto diwisuda, karena mereka telah meninggal dunia.

(dr. F. X. Sudanto sedang memeriksa pasien)

 

Profil dr. F. X. Sudanto

Setelah mengenyam pendidikan, dr. Sudanto lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1976.

Setelah lulus, dr. Sudanto langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti program Dokter Instruksi Presiden (Inpres) di Departemen Kesehatan.

Mengutip dari situs Yayasan Buddha Tzu Chi, dr. Sudanto yang saat itu sebagai dokter muda, diberi pilihan bertugas.

Di antaranya di Irian Jaya (sekarang Papua), Kalimantan, dan Timor Leste. Dari ketiga pilihan tersebut, Sudanto akhirnya memilih untuk praktik di Papua.

“Saya lebih memilih yang jauh sekalian,” katanya.

Akhirnya, dr. Sudanto ditempatkan di wilayah Asmat, Papua. Sejak awal bertugas hingga tahun 1982, dr. Sudanto telah melayani pasien di 4 kecamatan terpencil di wilayah Asmat.

Melihat keterbatasan ekonomi masyarakat Suku Asmat, dr. Sudanto memutuskan untuk mengabdikan dirinya untuk pelayanan kesehatan di Asmat.

“Waktu itu di Papua jumlah dokter masih terlalu sedikit. Ketika saya tiba di Asmat, wilayah yang begitu luas dengan 4 kecamatan, baru memiliki satu orang dokter,” katanya.

 

Dokter Rp2.000

Selama bertugas di wilayah Suku Asmat, sehari-harinya dr. Sudanto terkadang hanya dibayar dengan dengan sagu, rempah-rempah, atau kayu bakar dari hutan.

Meski demikian, hal ini sama sekali tidak menjadi penghalang bagi dr. Sudanto karena yang beliau lakukan adalah semata-mata demi pengabdian dan rasa kemanusiaan.

Setelah 6 tahun bertugas menjadi dokter Inpres, Sudanto melanjutkan kariernya di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura, hingga pensiun pada tahun 2003. Selain itu, ia juga diberi izin untuk membuka praktik dokter umum di Rumah Sakit Umum (RSU) Abepura.

Memiliki dedikasi dan jiwa kemanusiaan yang tinggi, membuat Sudanto tetap mengabdikan dirinya pada masyarakat sekitar.

Setelah pensiun, dr. Sudanto membuka praktik dirumahnya di Abepura. Selama membuka praktik, ia tetap tidak menetapkan tarif tinggi pada pasiennya.

dr. Sudanto yang telah lama bertugas di daerah pedalaman, tidak sampai hati untuk mematok tarif praktiknya mengikuti “pasaran” dokter-dokter di kota.

Maka dari itu, dr. Sudanto memasang tarifnya sendiri yang ia rasa sangat terjangkau bagi masyarakat Abepura.

Saat pertama kali membuka praktik, dr. Sudanto hanya menerima bayaran Rp500 atas jasanya. Sejak saat itu hingga saat ini, dr. Sudanto tetap memasang tarif praktik yang sangat terjangkau bagi masyarakat Abepura, yaitu Rp2.000 untuk orang dewasa dan Rp1.000 untuk anak-anak dan mahasiswa.

Tidak heran, jika masyarakat Papua memberikan panggilan khusus pada Sudanto, yaitu “Dokter 2000 Rupiah”.

Sudanto berprinsip, bahwa uang atau materi bukanlah segalanya. Pasalnya, bagi seorang dokter mendahulukan nyawa dan kepentingan orang banyak, merupakan hal yang paling utama.

“Yang saya cari adalah berbuat baik bagi banyak orang, bisa memberi ketenangan bagi masyarakat, dan menemani mereka. Buat saya materi adalah cukup untuk membeli lauk pauk,” ungkapnya.

Seiring berjalannya waktu, dr. Sudanto terpaksa menatikkan tarif praktik menjadi Rp5.000. Namun, pasien anak-anak dan mahasiswa hanya perlu membayar setengahnya.

Meski demikian, jika pasien benar-benar tidak memiliki uang, dr. Sudanto tidak menarik bayaran, bahkan membantu dalam pembelian obat. Setiap hari, Sudanto minimal menerima 100 orang pasien di ruang praktiknya.

Karena ketulusannya melayani masyarakat, dr. Sudanto dikenal dan dihormati oleh hampir semua masyarakat Abepura. Ia bahkan dikenal sebagai orang yang dituakan, banyak di antaranya yang juga memandang dr. Sudanto lebih dari sekadar dokter, tapi sudah menjadi bagian dari keluarga mereka.

(dr. F. X. Sudanto sedang memeriksa pasien)

 

Tantangan Menjadi Dokter di Papua

Menurut Sudanto, pada masa itu tidak banyak tenaga dokter yang mau melayani di Papua. Terlebih, sarana dan prasarana kesehatan di Papua masih terbatas, sehingga membuat hanya sedikit dokter yang mau datang ke sana.

Berdasarkan SK yang diterima dari pemerintah, mestinya dr. Sudanto hanya memberikan pelayanan kesehatan di Kecamatan Agats dan sekitarnya.

Namun, karena wilayah Asmat yang terdiri atas 4 kecamatan hanya ada 1 dokter, maka ia harus melayani semua kecamatan tersebut tanpa terkecuali. Di Agats, dr. Sudanto mengepalai sebuah puskesmas yang gedungnya merupakan bekas Rumah Sakit Belanda.

Tantangan lain yang mesti dihadapi dr. Sudanto selama bertugas, adalah sering terlambatnya pasokan obat-obatan ataupun sarana kesehatan lainnya.

“Kiriman obat dari pemerintah ataupun lembaga misi selalu terlambat. Pasokan dalam negeri dari pemerintah saja terlambat datang, apalagi dari misi Katolik yang barangnya dikirim dari Amerika dan menempuh perjalanan yang jauh,” kenang dr. Sudanto.

Meski demikian, sebagai dokter yang melayani di pelosok, Sudanto memaklumi bahwa keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi di Asmat yang sebagian besar rawa-rawa basah, menyulitkan pengiriman obat-obatan menuju Papua.

“Saya sebagai seorang dokter, tugas saya hanya fokus memeriksa orang sakit saja. Saya tidak berpikir apakah sarana-prasarana mencukupi atau tidak. Dengan berfokus pada pelayanan kita, segala hal bisa dijalani dengan lebih tenang dan mudah tanpa gangguan,” jelasnya.

Sebagai dokter yang sering keluar-masuk perkampungan selama enam tahun pelayanannya di Agats, dr. Sudanto kerap berhadapan dengan berbagai penyakit tropis, dan penyakit masyarakat kecil.

Di antaranya seperti malaria, frambusia (kusta), polio, batuk, TBC, kurang gizi, sampai busung lapar.

“Di Asmat banyak masyarakat menderita kurang gizi, karena memang di sana sulit mendapatkan makanan dengan gizi yang baik. Pertanian juga pada masa itu juga belum berkembang,” katanya.

Rata-rata, penduduk setempat masih menggantungkan hidup dari hasil berburu, menangkap ikan, dan mencari sagu di hutan.

 

Mengabdi Menjadi Pengajar

Selain menjadi dokter, dr. Sudanto juga terus mengabdikan dirinya dengan menjadi tenaga pendidikan, serta mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura.

Termasuk juga mengajar di program studi Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) FKIP Uncen, serta beberapa perguruan tinggi swasta di Jayapura.

Atas dedikasi dan jasanya, dr. Sudanto menjadi pemenang kategori Pelopor Pemberdayaan Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T) Alumni Awards 2009 dari UGM.

Walau demikian, bagi Sudanto penghargaan dari instansi bukanlah sesuatu yang ia kejar. Menurutnya yang sangat ia impikan, adalah benar-benar menjadi dokter yang baik di tengah-tengah masyarakat.

“Saat saya dinobatkan sebagai dokter, saya sudah berkeinginan hanya ingin menjadi dokter yang baik. Saya tidak berpikir untuk harus mencari banyak uang, tetapi saya hanya berpikir bagaimana masyarakat harus sembuh. Karena dokter harus menolong dan mendedikasikan dirinya untuk masyarakat. Itu saja keinginan saya,” tutup dr. Sudanto.

 

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: