
Ilsutrasi kecemasan sosial (Foto: doidam10 via Canva Pro)
Gangguan kecemasan sosial atau fobia sosial (social anxiety disorder) adalah ketakutan akan situasi sosial yang melibatkan interaksi dengan orang lain.
Gangguan kecemasan sosial, merupakan suatu kecemasan yang ditandai dengan pikiran-pikiran takut terhadap evaluasi, penilaian, atau pandangan negatif orang lain terhadap diri sendiri.
Akibatnya, pengidap gangguan ini berusaha menghindari atau bahkan berusaha untuk tampil semakin menarik di hadapan orang-orang, bahkan untuk skala yang lebih besar.
Psikolog Lenny Utama Afriyenti, M.Psi., menjelaskan, jika dirasa mengalami kondisi kecemasan yang parah, ada baiknya segera mencari bantuan profesional.
Lenny melanjutkan, tingkat kecemasan setiap orang akan bergantung dengan kondisi dirinya sendiri. Untuk menentukan diagnosis yang tepat, psikolog akan bekerja dengan SOP tertentu.
Selain menanyakan kepada pasien, psikolog juga perlu melakukan wawancara klinis yang mendalam terhadap kondisi pasien.
“Namun, ciri khas dari gangguan ini adalah mengalami kecemasan terhadap suatu hal selama lebih dari 6 bulan, sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari. Parahnya, kondisi ini bisa membuat dia tidak bisa bersosialisasi penuh, bahkan menjadi menghindari keramaian atau keluar rumah karena takut dikomentari orang lain,” ujar Lenny dikutip dalam video YouTube DAAI Family, Kamis (25/5).
Salah satu penyebab gangguan kecemasan sosial, adalah adanya pengalaman traumatis semasa kecil. Misalnya, pernah diledek oleh teman-temannya sewaktu kecil.
Menurut Lenny, bisa jadi pengidap gangguan ini merasa baik-baik saja sewaktu diledek saat masih kecil, tetapi kenangan tersebut akan tersimpan di alam bawah sadar.
Dengan demikian, saat pengidap dihadapkan dengan kondisi yang memicu atau peristiwa yang mirip dengan peristiwa yang dulu, maka kenangan akan peristiwa masa lalunya tidak redup. Kenangan tersebut akan terus hadir dan menjelma menjadi ketakutan di saat usia dewasa.
Meskipun ciri khas gangguan kecemasan sosial terlihat samar dan sering dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi seseorang tidak boleh mendiagnosis diri sendiri (self-diagnose).
Meskipun sempat merasa terhubung dengan artikel yang beredar di internet, tetapi self-diagnose tetap bukan jawaban yang tepat untuk menentukan diagnosa gangguan kecemasan sosial.
Hindari mengambil kesimpulan hanya berdasarkan data yang minim, apalagi jika tidak memeriksakan diri ke tenaga medis profesional.
“Kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada profesional, jangan sampai ini mengganggu. Kalau kita menunda pengobatan, ditakutkan kondisinya bisa menambah penderitaan,” jelas Lenny.
Lenny melanjutkan, gangguan kecemasan sosial bisa menyerang siapa saja. Sebuah penelitian bahkan menunjukkan, anak berusia 8 sampai 15 tahun sudah bisa mengalami gangguan kecemasan sosial.
Untuk itu, jika melihat anak dengan ciri-ciri yang mendekati kondisi gangguan kecemasan sosial, orang tua wajib waspada dan segera memeriksakannya ke tenaga medis profesional.
Selain berkonsultasi kepada tenaga profesional, peran orang tua dalam mengedukasi anak yang mengalami gangguan kecemasan sosial juga dinilai sangat penting.
Menurut Lenny, orang tua perlu menjadi support system bagi anak untuk bisa keluar dari masalah tersebut. Dengan demikian, saat memberikan nasihat atau saran kepada anak, orang tua tidak boleh menghakimi perasaan anak.
Jika orang tua membiarkan anak dengan kondisi gangguan kecemasan, kondisi ini bisa menjadi lebih buruk, bahkan setelah anak beranjak dewasa.
Beberapa efek yang akan timbul jika anak dibiarkan dengan kondisi tersebut, adalah anak akan menjadi pribadi yang tidak berfungsi secara penuh dia, anak akan kesulitan mengeksplorasi kemampuannya, performa kerjanya menurun, tidak produktif, dan sebagainya.
“Jika kita tidak bisa atau tidak memiliki keterampilan sosial, lalu selalu takut akan penilaian orang, akibatnya bisa saja terjadi yang namanya alienasi, atau merasa sendiri, merasa terasing di dalam kehidupan ini. Tentunya kondisi ini berbahaya karena bisa mengarah ke kondisi depresi,” kata Lenny.
Untuk meminimalkan risiko terkena gangguan kecemasan, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah membuat jurnal atau buku harian pribadi lalu ceritakan apa saja kejadian yang membuat kita merasa tidak nyaman.
Nilai perasaan atau emosi diri sendiri di dalam jurnal tersebut, lalu tulis juga alasan yang membuat emosi tersebut muncul.
Setelah itu, usahakan untuk berpikir dari perspektif lain agar tidak selalu terjebak dengan rasa takut. Lakukan hal ini secara berulang sampai kondisi kecemasan berkurang.
“Sebenarnya teman terbaik kita itu adalah diri kita sendiri. Jangan lupa kalau kita punya diri sendiri. Usahakan untuk berpikir positif, berdamai dengan diri sendiri, dan tidak selalu menyalahkan keadaan,” tutup Lenny.