Kaligrafi Tiongkok

María Galán merelakan masa mudanya dengan jadi ibu asuh. (Foto: instagram.com/auntie_mariagalan)

María Galán (26), seorang wanita asal Spanyol mendedikasikan masa mudanya untuk menjadi ibu asuh bagi 32 anak panti asuhan di Desa Kikaya, Uganda.

Mengutip dari Elespanol, María lahir dan besar di Spanyol. Ia adalah lulusan dengan gelar di bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional di Universitas Alcalá, Spanyol.

Sejak kecil, sang ibu selalu mengajari María pentingnya menolong sesama. Sampai akhirnya, María Galán bersama sang ibu, Montserrat Martínez, mengawali perjalanan ini pada tahun 2012 lalu.

Saat itu, Montserrat dan María melakukan perjalanan sosial ke Uganda untuk menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan Babies Home, sebuah panti asuhan dengan lebih dari 30 anak yang akan ditutup karena kekurangan dana.

Menolak untuk berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa, María membuat keputusan besar yang mengubah hidupnya. Sejak saat itu, ia bertekad untuk tinggal di Uganda dan menjadi wali dari 32 anak ini.

Bersama dengan koleganya, mereka pun memutuskan untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Babies Uganda dan mendaftarkannya pada tahun 2012.

Selama beberapa tahun pertama (hingga 2017), upaya mereka terkonsentrasi di tempat ini. Kemudian, semakin banyak orang yang tahu dan membantu mereka.

Seiring berjalannya waktu, LSM ini semakin berkembang hingga bisa mengelola dua panti asuhan (Babies Home dan Kikaya School), dua sekolah (salah satunya untuk anak-anak tunanetra, Cevic School), sebuah klinik (Chloe Medical Centre), sebuah pusat kebugaran luar ruangan (SoulGym), dan sekolah menengah atas Kikaya Senior School. Mereka juga melakukan kampanye pemberian makanan untuk 200 anak di pulau Zinga.

“Kemudian, muncullah taman kanak-kanak dan sekolah dasar yang memberikan pendidikan kepada lebih dari 650 anak. Ada pula sekolah untuk anak-anak tunanetra, Klinik Chloe yang menjadi tempat kami memberikan pengobatan gratis kepada seluruh penduduk di daerah tersebut, lapangan olahraga, pusat sosial, dan sekarang ada juga SMA,” ujar María dikutip dalam keterangannya, Senin (15/4).

(Maria bersama anak asuhnya)

 

Panggilan dari Hati

Didikan dari sang ibunda membuat María terbiasa berbuat baik kepada sesama. Saat memutuskan untuk tinggal di Uganda, María mengatakan ini merupakan titik balik hidupnya.

“Saya tidak ingin melanjutkan hidup saya dan semua kenyamanan saya, sementara ada orang-orang yang hidup dalam kondisi seperti ini (di Uganda). Saya ingin melakukan segalanya dengan kekuatan saya untuk membantu Babies Uganda terus berkembang dari bawah ke atas, menjadi bagian aktif dari perubahan ini, dan menjangkau lebih banyak orang. Namun, di atas semua itu, saya tidak ingin dan tidak bisa memisahkan diri dari anak-anak kecil,” kata María.

 

Menjadi Ibu Asuh 32 Anak

María telah menjadi ibu asuh bagi 32 anak di panti asuhan. Anak-anak ini datang dari berbagai daerah sekitar yang ditelantarkan.

Saat ada anak yang membutuhkan bantuan, polisi setempat selalu menelepon María dan memberitahu bahwa ada anak baru yang membutuhkan rumah. Sejak saat itulah, mereka menjadi bagian dari keluarga María di Kikaya House.

Tidak sendirian, María merawat anak-anak ini dengan bantuan enam pengasuh. Mereka dipekerjakan untuk membantu María mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, serta merawat anak-anak.

Di antara anak-anak yang dirawat María, ada Mickel dan Vincent, yakni dua anak laki-laki kecil dengan cerebral palsy yang membutuhkan lebih banyak perhatian dan pergi ke fisioterapi setiap hari.

María mengaku, ia kerap merasa bersalah karena tidak bisa selalu memenuhi keinginan 32 anak-anak asuhnya.

Meski demikian, mereka adalah alasan María untuk hidup. Anak-anak ini merupakan sumber kebahagiaan dan hadiah terbesar bagi hidup María.

“Jadi, semua upaya itu sepadan untuk mengetahui bahwa mereka merasa betah di rumah, bahwa kami adalah sebuah keluarga, dan saya akan selalu ada di sini untuk mereka,” ungkap María.

(Maria bersama anak asuhnya)

 

Menjadi Bibi Kesayangan Anak-anak

Di Babies Uganda, María biasa dipanggil Amagalan yang merupakan kependekan dari bibi, María, dan Galán.

Selama tinggal bersama anak-anak, María berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dan Luganda. Bahasa Inggris sendiri, merupakan bahasa resmi di Uganda yang mereka pelajari di sekolah, sedangkan bahasa Luganda lebih sering digunakan di rumah.

Bagi anak-anak, María merupakan malaikat penolong yang memberikan semua yang mereka butuhkan dalam hidup mereka.

Sebaliknya, bagi María, anak-anak ini memberinya kesempatan untuk bisa mencintai seseorang di atas segalanya dan motivasi untuk terus melakukan hal baik.

“Di sini, ulang tahun tidak sepenting di Spanyol dan biasanya tidak dirayakan, tetapi di rumah kami membuat kelompok dan setiap tiga bulan sekali kami mengadakan perayaan besar,” jelas María.

Saat ini, anak termuda yang tinggal di panti asuhan tersebut berusia 1,5 tahun, sedangkan yang paling tua merupakan anak kembar berusia 16 tahun.

“Beberapa dari mereka tiba saat baru lahir. Ini adalah rumah mereka. Jadi, seperti halnya rumah-rumah lain di Spanyol, ketika mereka berusia 18 tahun, mereka akan pergi ke universitas, atau belajar berdagang, apa pun yang mereka inginkan, tetapi kami akan selalu ada untuk mereka,” lanjutnya.

 

Proyek LSM Babies Uganda

María mengatakan, di panti asuhan mereka terus membantu setiap bulannya agar anak-anak dapat melanjutkan aktivitas yang mereka sukai.

Di Kikaya Senior School, misalnya, María memberikan pendidikan kepada lebih dari 650 anak di daerah tersebut, dengan lebih dari 200 anak menginap. María turut memastikan makanan, kesejahteraan, dan keamanan anak-anak terpenuhi.

Sekolah Kikaya dilengkapi dengan dengan lapangan olahraga, sehingga anak-anak dapat melakukan kegiatan ekstrakurikuler dan berolahraga. Ada pula pusat sosial yang memungkinkan anak-anak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan belajar melukis, menari, bernyanyi.

Kemudian, di Klinik Chloe, María menangani lebih dari 1.000 pasien setiap bulannya. Mereka juga menyediakan pengobatan dan perawatan gratis. Klinik ini bahkan dilengkapi dengan ruang bersalin, laboratorium, fisioterapi, oftalmologi, dan kedokteran gigi.

Selanjutnya, Sekolah Cevic yang merupakan sekolah untuk anak-anak tunanetra, sekarang memiliki 52 anak yang semuanya tinggal di asrama dan mereka semua tidur di sekolah. Kami telah berhasil membuat mereka merasa nyaman, dimengerti, dan dicintai di negara di mana disabilitas masih merupakan hal yang tabu.

(Maria bersama anak asuhnya)

 

Pendanaan Sekolah

Beragam fasilitas yang disediakan María dalam LSM ini, didanai dari proyek amal mereka yang bertajuk Proyek Solidarity Bricks.

Setiap orang bisa berdonasi dengan biaya EUR 250 atau sekitar Rp4,3 juta. Nama mereka juga akan ditempelkan di batu bata yang digunakan untuk membangun sekolah, sehingga nama mereka akan terukir di dinding sekolah selamanya.

“Bagi kami, membuka sekolah ini berarti memastikan kelangsungan studi bagi semua anak sekolah dasar di sekolah kami. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk bersekolah di sekolah menengah, karena begitu Anda tahu cara menulis dan membaca, jika orang tua Anda tidak memiliki sumber daya, mereka lebih suka Anda membantu di tempat kerja untuk membantu menghidupi keluarga,” terang María.

 

Merelakan Masa Muda

María merupakan gambaran nyata dari anak muda yang merelakan masa mudanya untuk untuk bermain bersama teman-teman, atau menghabiskan waktu dengan keluarga.

Meski demikian, María mengaku ia tidak pernah menyesali keputusan yang ia ambil karena ia tahu LSM ini merupakan tempat yang tepat untuk dirinya.

“Di sini saya menjawab semua alasan dan tujuan hidup saya, tetapi jelas bahwa ini bukanlah kehidupan yang mudah. Saya hidup dalam budaya yang sangat berbeda, saya satu-satunya orang kulit putih di daerah ini, saya harus belajar menjalani kehidupan yang lain, tanpa ada kesamaan dengan kehidupan saya yang lama. Saya merindukan banyak hal, terutama keluarga dan teman-teman saya, tetapi ini adalah rumah baru saya,” aku María.

Tidak sedikit orang yang menunjukkan dukungannya untuk membantu LSM ini, sehingga María menjadi semakin bersemangat dalam membantu lebih banyak anak.

“Intinya adalah membantu, siapa pun itu. Jangan berpikir uang kecil tidak bisa memberikan dampak apa-apa saat digunakan untuk berdonasi. Karena untuk membantu orang lain, kita harus berpikir sebagai sebuah kelompok agar dampaknya bisa dirasakan banyak orang,” tutup María.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: