Kaligrafi Tiongkok

Es krim karya Eleonora Ortolani (Foto: Mael Henaff)

Desainer Eleonora Ortolani menciptakan es krim pertama yang terbuat dari sampah plastik. Inovasi ini merupakan bagian dari proyek tahun terakhirnya di Universitas Seni Central Saint Martins di London, Inggris.

Sebagai mahasiswa magister sekolah desain di jurusan Material Futures, Ortolani bekerja sama dengan para ilmuwan untuk mengambil sejumlah kecil plastik, menguraikannya di laboratorium, dan mengubahnya menjadi vanillin, molekul perisa dalam vanila.

Mengutip dari Dezeen, Ortolani kemudian membuat vanillin menjadi es krim, yakni makanan yang paling lekat dengan rasa vanilla.

Adapun es krim buatannya diberi nama “Guilty Flavours” dan dipamerkan di dalam lemari es yang terkunci di pameran lulusan Central Saint Martins.

Inovasi ini, berasal dari rasa frustrasi Ortolani melihat bagaimana para desainer saat ini menggunakan plastik daur ulang.

Ortolani melihat, plastik sering kali dibuat menjadi produk yang tidak dapat didaur ulang lebih lanjut karena plastik tersebut telah dilebur dengan resin atau bahan lainnya.

“Kami sebenarnya memperburuk keadaan dengan menjual karya-karya ini sebagai solusi untuk masalah plastik,” ujar Ortolani dikutip dalam keterangannya, Kamis (12/10).

Terinspirasi dari Cacing dan Bakteri

Di saat yang bersamaan, Ortolani juga terpikir tentang cacing lilin dan bakteri Ideonella sakaiensis.

Cacing lilin biasanya memang memakan lilin lebah, tetapi baru-baru ini ditemukan fakta bahwa mereka mampu mencerna kantong plastik dengan cara yang sama.

Di sisi lain, bakteri Ideonella sakaiensis yang ditemukan di luar pabrik daur ulang botol di Jepang, diperkirakan telah berevolusi untuk memetabolisme plastik PET.

Hal ini pun membuat Ortolani bertanya-tanya, apakah ada cara agar manusia bisa memakan plastik dan menghilangkannya untuk selamanya? Awalnya, ia mengira proyeknya ini hanya bersifat spekulatif.

“Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan benar-benar bisa membuat makanan dari plastik. Sulit bagi saya untuk menemukan ilmuwan yang benar-benar tertarik untuk bekerja sama dengan saya dalam proyek ini,” kata Ortolani.

 

Berkolaborasi dengan Ilmuwan

Akhirnya Ortolani bertemu dengan pemimpin mata kuliah ilmu pangan di Universitas London Metropolitan Hamid Ghoddusi.

Melalui Ghoddusi, Ortolani bertemu dengan ilmuwan peneliti Joanna Sadler yang timnya di Universitas Edinburgh menggunakan bakteri hasil rekayasa genetika untuk mensintesis vanilin dari plastik.

Vanillin sintetis sudah umum dijual dan dikonsumsi di supermarket sebagai alternatif yang lebih murah dari vanili alami. Vanillin sintetis ini, biasanya diproduksi dari minyak mentah yang berasal dari bahan bakar fosil yang sama dengan plastik. Inilah yang membuat para ilmuwan memilih molekul perisa tersebut untuk eksperimen mereka.

Ortolani menjelaskan, para ilmuwan merekayasa sebuah enzim yang mereka tempatkan pada bakteri E. coli, untuk memungkinkan enzim tersebut memutus ikatan super kuat antara molekul-molekul dalam struktur plastik sebagai bagian dari proses metabolisme. Enzim lain kemudian menyintesis molekul-molekul yang tidak terhubung ini menjadi vanilin.

“Pada saat enzim pertama memutus rantai, itu bukan plastik lagi. Ini bukan polimer lagi. Itu adalah monomer. Itu adalah elemen-elemen,” jelas Ortolani.

Produk dari proses ini tidak boleh disamakan dengan mikroplastik yang masih merupakan plastik pada tingkat molekuler.

“Mikroplastik terlihat seperti sebuah molekul, tetapi sebenarnya itu adalah plastik yang sangat kecil. Itu tidak bisa dipecah,” ungkapnya.

Ortolani meniru proses sintesis yang telah dipatenkan oleh para ilmuwan di CSM Grow Lab, yakni menggunakan bakteri yang mereka kirimkan kepadanya dalam bentuk agar dengan instruksi yang dibagikan di bawah persyaratan kerahasiaan yang ketat dan 20 miligram PET.

Dia mengatakan bahwa zat tersebut berbau persis seperti vanili, tetapi dia belum pernah mencicipinya, begitu juga dengan orang lain.

Meskipun molekul tersebut mungkin secara kimiawi identik dengan vanilin sintetis yang sudah ada, tetapi bahan ini dianggap sebagai bahan yang sama sekali baru oleh badan-badan keamanan makanan. Oleh karena itu, para ilmuwan tidak akan mengizinkan mencicipinya sampai dinyatakan aman untuk dikonsumsi.

Harapan ke Depannya

Alih-alih memakannya, Ortolani menyajikan es krim tersebut dalam lemari es yang terkunci di pameran pascasarjana CSM.

Ia berharap, proyeknya akan memulai topik di antara para ilmuwan terkait penggunaan bahan alami versus sintetis, serta bagaimana persepsi tersebut dapat menghambat tujuan kita untuk ketahanan pangan di era perubahan iklim.

“Jika saya memberi tahu Anda kalau ada bahan dalam es krim yang berasal dari sampah plastik, pasti Anda akan merasa jijik. Namun, begitu Anda memahami bahwa pada dasarnya segala sesuatu adalah bagian dari ekosistem yang sama dan kita bahkan bisa menganggap plastik sebagai bagian dari ekosistem yang sama, maka hal ini menjadi sangat masuk akal,” jelasnya.

Ortolani mengungkapkan, kini kita harus mulai mengubah cara kita makan dan memandang makanan secara drastis.

“Apa yang ada di alam terus berkembang. Selama kita menganggap plastik sebagai sesuatu yang berada di luar alam, maka kita tidak akan benar-benar memahami cara mengatasi masalah ini,” tutup Ortolani.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini: