Sumber : Independensi

Foto : Tari Ronggeng Bugis oleh Tim Liputan Refleksi DAAI TV 

Penulis : Gilang Syahbani

Sikap intoleransi merupakan sikap yang tidak dapat dibenarkan dan sangat mengkhawatirkan, terutama jika terdapat kelompok yang melakukan tindakan-tindakan ekstrim dan memiliki rencana jahat terhadap orang lain yang mengganggu ketenteraman kehidupan sehari-hari. Hal ini perlu direspon untuk mencegah masyarakat dari paparan paham-paham yang dapat mencelakai orang lain. Khususnya di Cirebon di mana tercatat ada beberapa kelompok intoleran yang meresahkan.

Menyikapi ancaman intoleransi yang dihadapi warga Ciirebon, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia atau LESBUMI, menggunakan seni dan budaya sebagai  media untuk mengampanyekan kepada masyarakat akan pentingnya hidup bermasyarakat dalam kerukunan dan perdamaian. Selain itu, LESBUMI juga memanggil para seniman untuk ikut membawa pesan-pesan yang mengingatkan warga Cirebon untuk kembali ke jati diri sebagaimana wilayah Cirebon yang memang majemuk dan toleran sejak dulu.

Perwakilan LESBUMI, Agung Firmansyah, mengatakan banyak pergeseran paradigma yang terjadi di tengah masyarakat Cirebon akhir-akhir ini. Terlebih dalam merespon keberadaan seni dan budaya, Agung mengatakan, “karena kesenian itu diharamkan oleh kelompok tertentu sehingga lambat laun tidak ada yang meneruskan dan menggemarinya.”  Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan kota Cirebon yang justru terkenal dengan keberagamannya.

LESBUMI pun menggelar pertunjukan seni dan budaya bernama Njujug Tajug sebagai upaya menghalau sikap-sikap intoleran tersebut. Tidak hanya menjadi tontonan untuk menghibur masyarakat, tetapi ragam seni yang ditampilkan dalam pagelaran seni itu ternyata menyimpan banyak tuntunan yang sudah disyi’arkan oleh ulama-ulama Cirebon terdahulu. Penampilan Wayang, Tarian Ronggeng Bugis, dan lainnya dikemas sedemikian rupa untuk mengikis intoleransi dan meredam radikalisme. Nilai-nilai dalam kesenian itulah yang sebenarnya mengandung toleransi, keberagaman, dan keterbukaan yang mencerminkan watak masyarakat Cirebon.

Pada dasarnya di dalam kesenian tersebut terdapat tuntunan yang apabila digali lebih dalam bisa berguna untuk membangun identitas dan karakter warga Cirebon itu sendiri. Sejatinya, seni dan budaya tidak terlepas dari peran para ulama Cirebon, khususnya Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga, sehingga memiliki nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.

Ketua LESBUMI, Dodie Yulianto, mengatakan bahwa saat ini masyarakat memang perlu disadarkan kembali akan keberagaman yang ada ditengah-tengah mereka, “Cirebon dari awal sudah disebutkan sebagai ‘caruban’ (campuran) yang berarti keberagaman, jadi yang terpenting adalah kesadaran keberagaman itu sendiri, bahwa kita telah hidup lama berdampingan dengan berbagai perbedaan.”

Kesadaran itulah yang nantinya dapat mengembalikan sifat serta karakter orang-orang Cirebon yang sesungguhnya.  LESBUMI berharap kesenian dan kebudayaan di Cirebon dapat tetap lestari dengan kesadaran bahwa kesenian ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan terdapat nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan itu sendiri yang hadir di dalamnya. Kesenian dan kebudayaan tak lagi hanya menjadi sebuah tontonan, melainkan menjadi sebuah tuntunan bagi warga Cirebon itu sendiri.

Video Terkait