Sumber Gambar : Forbes
Penulis : Grace Kolin
“Kesulitan apapun yang dihadapi pasti bisa diatasi, asal punya keinginan untuk berjuang.”
– Eka Tjipta Widjaja.
Tidak terasa, sudah tiga tahun Eka Tjipta Widjaja meninggalkan dunia ini. Tepat pada tanggal 26 Januari 2019, ia menghembuskan nafas terakhir di usia 98 tahun. Doa ribuan umat pun turut mengiringi kepergiannya. Meski pendiri dari Sinar Mas Group ini telah tiada, namun ia tetap dikenang sebagai sosok yang inspiratif dan bertangan dingin.
Dalam peringatan 100 tahun Eka Tjipta Widjaja, ada banyak hal yang dapat kita teladani dari sosoknya, mulai dari seni berbisnis hingga filosofi kehidupan.
Berkawan Akrab dengan Kegagalan
Eka Tjipta lahir dari keluarga yang sederhana dan hanya merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD). Namun, sebelum ia berpulang kepada Yang Maha Kuasa, ia telah mengukir sejumlah pencapaian yang membanggakan, salah satunya menjadi orang terkaya kedua di Indonesia, versi majalah Globe Asia tahun 2018 dengan aset senilai US$13,9 miliar (Rp 201,5 triliun).
Kesuksesan besar semacam itu tentunya tidak diraih Eka Tjipta dalam waktu semalam. Apalagi dalam sekedip mata. Kesuksesan besar itu ia raih setelah melewati rangkaian proses yang getir dan panjang. Tak jarang, dalam perjalanannya yang terjal dan berliku, ia juga harus berkawan akrab dengan kegagalan. Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Eka Tjipta kecil dulunya pernah berkeliling ke kota Makassar, menjajakan biskuit dan kembang gula. Dalam dua bulan, usahanya berkembang. Ia pun udah mendapat laba dan membeli becak untuk memuat barangnya. Tapi ketika usahanya tumbuh subur, tentara Jepang menyerbu Indonesia, termasuk ke Makassar. Usahanya pun hancur total. Apakah ia langsung menyerah? Tidak. Ia lantas memutar otak dengan berjualan makanan dan minuman di Paotere yang berada di pinggiran Makassar. Soal pekerjaan, ia juga tidak pilih-pilih. Asal ada peluang dan kesempatan, apapun ia tekuni, termasuk melakoni profesi sebagai kontraktor kuburan.
Ia juga pernah berdagang kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan) dan mendulang keuntungan besar. Namun, Jepang mengeluarkan peraturan baru, dimana jual beli minyak kelapa hanya dikuasai oleh Mitsubishi. Lalu, ia pun banting stir dari berjualan kopra menjadi berjualan teng teng, makanan khas Makassar yang terbuat dari gula merah dengan kacang tanah. Kesuksesannya dalam berjualan teng teng tidak bertahan lama, dia kembali mengalami akibat anjloknya harga gula.
Eka Tjipta tak patah arang dan terus berjualan. Namun pada tahun 1950, terjadi insiden Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) yang mengakibatkan semua barang dagangannya habis dijarah massa.
Kegagalan demi kegagalan yang dialami Eka Tjipta tidak semerta-merta menjadi pukulan telak baginya untuk kembali bangkit dan berusaha. Bahkan, tidak ada kata terlambat dalam kamusnya untuk meraih kesuksesan.
Di usianya yang hampir menginjak kepala empat, ia mendirikan Sinar Mas Group pada tahun 1962. Dari awal berdiri hingga sekarang, Sinar Mas juga telah menjelama menjadi sebuah konglomerasi bisnis di Indonesia dengan tujuh pilar usaha: Sinar Mas Agribusiness and Food, Asia Pulp & Paper Sinar Mas, Sinar Mas Land, Sinar Mas Energy and Infrastructure, Sinar Mas Financial Service, Smartfren Communications & Technology, serta Sinar Mas Healthcare.
Dalam sebuah wawancara khusus dengan Harian Kompas pada 1995, ia membagikan salah satu strateginya dalam berbisnis. Kuncinya adalah belajar mengendalikan uang. Misalnya, ketika memperoleh laba Rp 100, jangan berbelanja Rp 90.
“Wah, itu cilaka betul,” kata Eka.
Mewariskan Nilai-Nilai Luhur
Bagi keluarga, Eka adalah sosok yang tegas dan sangat peduli dengan pendidikan. Selain itu, ia selalu menanamkan prinsip hidup hemat, jujur dan berintegritas kepada keluarganya, baik dalam bekerja maupun dalam menjalani kehidupan.
“Saya merasa bangga menjadi putra Pak Eka. Beliau adalah seorang ayah yang baik dan juga sangat tegas kepada kami. Sesungguhnya, di balik ketegasan beliau, juga terdapat kasih sayangnya kepada kami. Beliau tidak pernah memarahi karyawan karena beliau menghormati mereka. Tetapi, terhadap anak-anaknya tidak demikian, karena beliau berharap bisa menjadi teladan untuk anak-anaknya. Beliau adalah orang yang sangat disiplin. Beliau selalu mengajarkan kami bagaimana menjadi orang yang lebih baik lagi,” kenang salah satu anak Eka, Franky Oesman Widjaja.
Semasa hidupnya, Eka Tjipta juga mewariskan enam landasan nilai untuk Sinar Mas, yakni “Integritas, Sikap Positif, Berkomitmen, Perbaikan Berkelanjutan, Inovatif, dan Loyal”. Hingga kini, keenam nilai tersebut terus dipegang Sinar Mas dan menjadi fondasi dari kesuksesannya.
Pejuang Kemanusiaan hingga Akhir Hayat
Gemerlap kesuksesan tak lantas membuat Eka Tjipta jadi lupa daratan. Ia bahkan menjadi semakin tekun dalam berbuat kebajikan. Bersama keluarganya, ia mendirikan Yayasan Eka Tjipta atau Eka Tjipta Foundation (ETF) pada tahun 2006. ETF merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial Sinar Mas untuk Indonesia. Organisasi nirlaba ini bergerak dalam bidang pendidikan dan menjadi wadah bagi kegiatan sosial perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah Sinar Mas.
Selain ETF, Eka Tjipta Widjaja juga merupakan salah satu orang yang banyak mendukung perkembangan Tzu Chi di Indonesia di awal berdirinya. Tzu Chi adalah lembaga sosial kemanusiaan yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan, antara lain: amal sosial, kesehatan, pendidikan, budaya humanis, pelestarian lingkungan, donor sumsum tulang, bantuan internasional, dan relawan komunitas.
“Kita bisa memiliki makanan, pakaian dan tempat tinggal berkat dedikasi masyarakat. Masyarakat telah membantu kita. Karena itu, kita berutang pada masyarakat. Jika ada yang membutuhkan kita harus memberi bantuan. Uang tidak menjadi masalah,” ucap Eka.
Tahun 2002, ketika banjir besar melanda Jakarta, ia tidak segan-segan untuk terjun langsung membersihkan Kali Angke meski usianya telah uzur. Beliau juga memberikan bantuan kepada korban bencana alam dan menggalang hati para donatur Tzu Chi untuk bersumbangsih membangun Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng.
“Bapak Eka Tjipta Widjaja di Indonesia adalah orang kaya yang murah hati dan bajik. Beliau adalah orang yang kaya materi sekaligus kaya batin,” tutur Master Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi.
Eka Tjipta adalah seorang Kristiani. Namun ia tidak pernah pandang bulu dalam menolong siapa pun, terlepas dari apapun latar belakangnya. Semangat beliau dalam toleransi beragama juga tertuang dalam Yayasan Muslim Sinar Mas, salah satu jembatan penghubung antara Sinar Mas dan keberagaman. Melalui yayasan ini, Sinar Mas secara konsisten menyelenggarakan program “Wakaf Alquran untuk Negeri” ke seluruh penjuru Nusantara.
Kepergian Eka Tjipta tidak hanya meninggalkan nama dan harta warisan, namun ia juga meninggalkan banyak pembelajaran hidup. Apa yang beliau lakukan telah memberikan banyak inspirasi. Pengalaman hidupnya menjadi manifestasi dari nasihat bijak: Kegagalan adalah Guru Terbaik.
Artikel ini dibuat dari berbagai sumber