Ilustrasi: Panorama kawasan industri dengan asap pekat akibat emisi karbondioksida yang mengotori udara. (Foto/ Canva). Ilustrasi: Panorama kawasan industri dengan asap pekat akibat emisi karbondioksida yang mengotori udara. (Foto/ Canva).

Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Salah satu cara yang ditempuh adalah menerapkan pajak karbon.

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon, seperti produk olahan minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. 

Abra Talattov, Ekonom INDEF, dalam acara Halo Indonesia DAAI TV menjelaskan bahwa pajak karbon sangat berdampak terhadap kegiatan industri maupun lingkungan.

“Peraturan perpajakan ini sebetulnya sebagai instrumen untuk mengendalikan dampak emisi gas rumah kaca di Indonesia. Hal ini  dikarenakan pemerintah sudah terikat dengan perjanjian Global yaitu Paris Agreement untuk meningkatkan kualitas lingkungan, terutama udara. Pajak karbon adalah alat untuk mengendalikan perilaku produsen dan konsumen” ujar Abra.

Sesuai Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 41% pada tahun 2030 dalam penanganan perubahan iklim global. 

Peraturan ini digunakan sebagai alat pengendali perubahan iklim dengan tujuan mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk mendorong perkembangan pasar yang rendah karbon dan ramah lingkungan.

Pajak karbon lahir melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penerapan pajak karbon rencananya dimulai pada tahun 2022. 

Pajak karbon kini tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau RUU KUP yang dibahas bersama DPR.

Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara pada bulan April mendatang.

Pajak karbon diterapkan berdasarkan pada batas emisi (cap and tax). Tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e)  diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.

Penerimaan negara dari pajak karbon akan digunakan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

Abra juga menjelaskan bahwa pajak karbon masih menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat Indonesia karena salah satu subjek pajak karbon adalah orang pribadi .

“Salah satu subjek dari undang-undang ini adalah orang pribadi, sehingga harus dipikirkan secara matang. Kebijakan ini harus ditentukan apakah semua pihak akan dikenakan penerapan pajak karbon atau hanya perusahaan-perusahaan tertentu saja” ujar Abra.

Di kalangan dunia industri, rencana ini juga belum sepenuhnya didukung karena akan menambah beban pengusaha, memerlukan waktu untuk mengadopsi teknologi ramah lingkungan, dan menyeret pergerakan harga saham.

Oleh sebab itu, dukungan pemerintah menjadi salah satu kunci penting dalam penerapan pajak karbon agar bisa bertahan ketika menjalani peraturan ini.

NR

Saksikan Video Terkait :