Penulis : Grace Kolin

Harusnya kan cinta tuh bahagia ya, harusnya cinta itu membuat kemerdekaan, membuat kita merdeka, membuat kita bisa menjadi lebih baik. – Himawan Hadirahardja, MSc (Pengamat dan Konselor Pernikahan).

Hubungan cinta yang sehat adalah impian setiap pasangan. Sayangnya, tidak semua pasangan yang menjalani hubungan bisa merasakan jalinan cinta yang sehat. Tidak sedikit pula di antara mereka yang terperangkap pada hubungan cinta yang tidak sehat, seperti love bombing. Seperti namanya, love bombing adalah fenomena saat orang membombardir pasangannya dengan hadiah, perhatian, kasih sayang, ataupun pujian dengan tujuan tertentu di baliknya.

Dilansir dari kumparan.com, istilah love bombing pertama kali dipopulerkan oleh David Koresh dan Jim Jones, yang merupakan pemimpin sekte kontroversial pada tahun 1970. Para pemimpin sekte tersebut menggunakan istilah love bombing sebagai taktik untuk mengontrol para pengikutnya. Pada akhirnya istilah ini dikenal oleh masyarakat luas hingga segala penjuru dunia dan dalam ilmu psikologi didefinisikan sebagai ungkapan kasih sayang yang manipulatif dan eksploitatif.

Himawan Hadirahardja, M.Sc seorang Pengamat dan Konselor Pernikahan dalam program Bincang Sehati DAAI TV mengungkapkan, biasanya tindakan love bombing gencar dilakukan di awal hubungan.

“Kuncinya dia ingin cepet-cepet menguasai supaya dia bisa seperti seorang pemain boneka gitu lah ya. Dia cepet-cepet bisa menguasai. ah setelah dia bisa menguasai dia bisa membuat mentalnya orang yang dikasihi ini bergantung sama dia bahkan tidak jarang yang kemudian merasa bersalah kok gak bisa ngimbangin ya?. Nah begitu dia merasa udah megang, dia akan menunjukkan karakter yang sebetulnya dengan mengatur. Dia merasa berhak untuk mengatur karena merasa sudah investasi banyak itu kata kuncinya,” kata Himawan.

Menurut Himawan, pelaku love bombing tidak suka ketika korbannya menjalin relasi dengan orang lain. Ia ingin korbannya selalu terikat, hanya padanya. Sehingga lambat laun, teman-teman dan  keluarga dari si korban mulai menjauh. Korban juga akan merasa burnout karena ia terpenjara dalam sebuah sistem dan tidak punya kuasa untuk keluar. “Nah ini biasanya yang menjadi ciri-ciri orang yang terkena love bombing,” ujarnya.

Pola asuh dari orang tua dapat mendorong seorang anak tumbuh menjadi pelaku love bombing. Contohnya perilaku mengendalikan anak dengan materi dan fasilitas yang melimpah. Karena merasa sudah dilimpahi dengan materi dan fasilitas, orangtua merasa berhak untuk mengatur anak sampai pada level micromanagement. Pola asuh ini akan menyebabkan anak berpikir bahwa ia juga boleh melakukan hal yang serupa pada pasangannya kelak.

Jika korban love bombing sadar bahwa ia terperangkap dalam hubungan asmara yang tidak sehat ini, ia bisa menetapkan batasan kepada pasangannya. Seperti mengatakan kata-kata yang dicontohkan oleh Himawan berikut ini: “Karena aku sayang sama kamu. Kalau memang kamu sayang sama aku dan kamu percaya sama aku, kamu akan mau kasih aku space (ruang). Bantu aku supaya aku juga bisa menjadi diriku sendiri yang sebenarnya, karena kan kamu sayang sama aku, dulu aku enggak kayak gini. Ingat gak awal-awal dulu, kita keadaannya seperti itu, dan aku perlu waktu, aku perlu break, aku perlu space.”

Selain menetapkan batasan, ada juga beberapa tips yang dapat dilakukan untuk menghadapi pasangan yang manipulatif seperti pelaku love bombing, yaitu menjumpai tenaga profesional seperti konselor. Tidak hanya korban, idealnya pelaku love bombing juga harus ikut berkonsultasi. “Kalau memang kooperatif, mau terbuka, mau membuka diri, dan mau mengakui, dan mau mengikuti anjuran daripada konselor, maka biasanya akan bisa sekali dipulihkan,” pungkas Himawan.