Penulis : Grace Kolin
Tekad semangat terpancar dari wajah Hikmat, salah satu sosok guru difabel yang menginspirasi di Indonesia. Ia terlahir sebagai tunadaksa dan menjadi pendidik anak-anak difabel di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Batang, Jawa Tengah. Dalam mempermudah aktivitasnya dalam mengajar, ia mengandalkan skateboard. “Saya menggunakan skateboard itu tepatnya itu dari kelas satu SMP. Skateboard ini sudah menjadi satu kesatuan seperti badan saya sendiri, seperti kakilah penopang langkah saya,” ujar Hikmat.
Sebagai seorang disabilitas, Hikmat pernah mengalami pasang surut dalam memaknai kehidupannya. Ketika ia masih kecil, ia tidak pernah hidup dengan orang disabilitas dan senantiasa bergaul dengan orang-orang non-disabilitas.
Namun saat berada di tengah masyarakat yang tidak terbiasa dengan kekurangan fisik yang ia miliki, ia baru merasakan perlakuan yang begitu kontras terhadap dirinya. “Disitu saya merasakan bagaimana saya di-bully, bagaimana saya kurang diterima keberadaannya oleh masyarakat. Dan disitu pula saya baru sadar, bahwa ternyata saya itu disabilitas,” katanya.
Pada fase itu, mental Hikmat sempat down dan ia merasa terpuruk. Pernah juga ia protes kepada Tuhan hingga mempertanyakan kesalahan apa yang ia dan ibunya perbuat sehingga ia harus terlahir menjadi seorang disabilitas.
“Sampai saya nangis dan tertidur dalam tangisan saya itu. Lalu setelah itu saya terbangun dan saya menyadarkan diri. Ya Allah, aku tahu aku itu manusia pilihan jika memang aku harus seperti ini, hamba minta tiga permintaan. Butakan dan tulikan telinga saya di saat ada orang yang mencemooh tentang fisik saya. Yang kedua, jangan kau timpakan keadaan ini kepada orang-orang yang hamba sayangi. Yang ketiga, berikanlah kesempatan kepada orangtua hamba, agar mereka bisa melihat hamba bisa sekolah, bisa kuliah, bisa bekerja, bisa menikah dan bisa punya anak seperti manusia pada umumnya. Sehingga orangtua hamba tidak berkecil hati punya anak seperti hamba,” ucap Hikmat sambil menahan tangis.
Semenjak dari doa itu, kepercayaan dirinya berangsur pulih. Ia pun berhasil menamatkan kuliah dan memperoleh pekerjaan sebagai guru SLB. Ia merasa, menjadi guru SLB itu sangat menyenangkan, karena ia bisa lebih mensyukuri hidup dengan melihat murid-muridnya yang bisa melakukan kegiatan layaknya orang non-disabilitas.
Bersama guru-guru lainnya, Hikmat mengajari murid-murid di sekolahnya untuk bercocok tanam secara hidroponik. Hasil sayur hidroponik yang mereka panen tak jarang mendapat banyak pemesanan, sehingga murid-murid di sekolah ini jadi senang dan tambah percaya diri. “Kita bisa bersaing, salah satunya dia bisa memanfaatkan fasilitas yang ada yaitu penanaman hidroponik di segi pertanian, Dan output-nya, mereka bisa menjadi wirausaha di bidang hidroponik,” terangnya.